Friday, May 25, 2012

Turbulensi yang Tak Berbatas

Sempat terbersit dalam benak, bahwa semua rutinitas yang ada merupakan satu tatanan yang telah diatur sedemikian rupa untuk menciptakan citra pribadi yang produktif. Kejengahan sengaja dilawan demi 'membeli' pengalaman yang konon harganya tak ternilai.
Masing-masing individu punya kadar need of achievement yang berbeda. Punyaku termasuk tinggi. 
Aku sampai harus 'ditampar' bolak-balik untuk menyadari batasan diri. Ambisi yang tidak pada porsinya ini, pada titik tertentu mampu melumat habis seluruh energi hingga membuatku collapse.

Dan suatu ketika, dengan pemahaman yang kudapat dari membaca buku karya seorang masterpiece, aku menyadari selama ini dia hadir sebagai turbulensi--yang mengguncang semua tatanan terpola tadi. Menimbulkan anomalitas.
Awalnya, tiap inci yang kulangkahkan terasa begitu datar--serasa tubuh ini robot, yang dengan sistemnya memetakan kapan aku harus beranjak dari satu lantai ke lantai lainnya.
Terpogram. Terus. Kembali pada repetisi yang itu-itu saja.
Namun, kehadirannya yang meski sekelebat nyatanya mampu memanusiakan aku kembali. Membuat kelima panca indera ini siaga penuh. Membuat otak bekerja lebih keras dari biasanya.
Bukan karena program. Tapi upaya memecahkan ia yang penuh teka-teki.
Dan aku bahkan curiga dalam setiap pori tubuhnya terdapat senyawa kimia tertentu, mungkin sejenis feromon--namun lebih kuat, yang dengan efeknya mampu membuat adrenalin meningkat. Menghadirkan sensasi naik roller coaster yang membuat perut mulas.



Apakah aku berharap efek turbulensi ini berakhir? Tidak. Aku senang jumpalitan di situ. Sampai pusing.
Setidaknya sampai semuanya kembali pada titik stabil. Dimana aku harus jadi robot lagi.

Saat itu mungkin turbulensinya berhenti,
dan menghilang
atau
turbulensi itulah definisi stabilitas buatku.
Sampai waktu yang tak berbatas.

Wednesday, May 23, 2012

Dengar, Lihat, Rasa, Maknai

Berapa banyak gugus kata tak terkata. 
Membanjir dalam pikiran, namun keluar berupa tetes dalam lisan. 
Kerontang, bahkan. Menggagu seketika.


Dua kubu berteriak. 
Yang satu menggeliat menyerukan gagasan-gagasan impulsif.
Yang lainnya berdehem pelan, memperingatkan agresivitas yang tak perlu.


Dan bayang imajinasi itu terus terekam.
Membuat garis batas antara khayalan dan kemungkinan, jadi demikian tipis.
Padahal keduanya terpisah dalam dimensi. Bersinggungan pun tak akan.


Kemudian timbul pertanyaan baru:
Apa agenda semesta kali ini? Mengapa kerap ada konspirasi?
Meski terkadang samar dan masih harus diraba, keberadaannya selalu menumbuhkan harap.
Hipotesisnya ada dua:
Ini ujian. 
Ini.. murni kebetulan. 
Aku saja yang terlalu bersemangat menyebutnya konspirasi.


Apa yang harus dilakukan kalau begitu?
Dua kubu itu kembali berkonflik, namun pada intinya menuntut satu:
menyuarakan isi hati.


Dengan cara apa, lantas?


Dan kemudian aku tahu cara yang paling halus:
membiarkan Dia menyampaikan dengan caraNya..








Tinggal aku yang berbisik:


"dengar, lihat, rasa, maknai".

Sunday, May 6, 2012

Surat Cinta untuk Penghuni Surga

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

Ini kali kedua aku menulis surat kepada seseorang yang tidak pernah, atau lebih tepatnya untuk kali ini--tidak sempat aku temui. Kebingungan yang sama--seperti surat sebelumnya--pun kembali hadir: apakah seharusnya aku berbasa-basi dengan menanyakan kabarmu? Sementara aku yakin, kali ini tanpa ada setitikpun keraguan terbersit dalam benak, bahwa kau baik-baik saja. Kau berjarak begitu dekat denganNya. 

Aku mencoba mengimajinasikan rupamu, yang sayangnya selalu gagal. Bagaimana tidak? Satu-satunya gambar yang terekam di otak adalah potret mungil dirimu tersenyum ke arah kamera--dengan gigi yang baru berjumlah dua. Sudah, itu saja. 

Ah ya, dan satu lagi yang kuingat tentangmu: namamu, tentu saja.
Yunia Khairunnisa.

"Teteh.."
Sungguh, satu kata itu dapat membuat bulu kudukku meremang--dan mataku seketika terasa panas. Begitu membuncah rindu ini akan sosok yang kulihat sebatas potret masa kecil. Yang kudengar sebatas cerita sebelum tidur, atau sebatas nama yang selalu disebut setiap kali beliau membaca surat Yasin di malam Jum'at.

"Teteh.." 
Adik kecilmu ini begitu mendamba sosokmu. Meskipun (lagi-lagi) imajinatif--aku membayangkan hangatnya engkau merengkuh--membiarkan aku tersedu, hingga pundakmu basah. Saat ini aku sedang membutuhkan rengkuhan itu. Kau pasti tahu--dari atas sana, aku yakin kau mengamati. Ya, teteh.. Begitu lemah diri ini akan segala sesuatu yang menyangkut tentang beliau

Aku saksi hidupnya.
Aku teringat,
kala Shinta mengikuti jejakmu--kembali pada Sang Maha Cinta.
Dan aku melihat, dan aku menyaksikan--tangis itu,
tangis kehilangan untuk kedua kalinya.

"Teteh.."
Kini ujian itu datang lagi padanya. Ketakutan akan kehilangan itu menyergapi dan menghantui dirinya.
Sempat aku bertanya, "Mengapa? Mengapa ujian datang padanya bertubi-tubi bagai tiada akhir?"

Namun kini aku mengerti, Allah SWT. mencintainya, sangat.
Dan aku bersyukur akan itu.



"Teteh.."
Dengan jarakmu yang begitu dekat denganNya, boleh kah aku titip doa?
Tabahkan hatinya. Jadikan setiap tetes air mata yang jatuh dari pipinya, menjadi pemadam kobarnya api neraka.


"Teteh.."
Cukup sekian surat ini.
Titip salam untuk dek Shinta. 
Bilang padanya:
Semoga pada saatnya nanti, 'bekal'-ku ini cukup untuk bertemu kalian berdua disana











dari adikmu,
yang tengah merindu dua penghuni surga.