Sunday, January 29, 2012

Right Man In The Right Place


Aku masih penasaran bagaimana hati bekerja. Mengapa dengan mudahnya ia jatuh pada yang ini, kemudian jatuh pada yang lainnya, atau bahkan--tidak sama sekali. Kosong.

Katanya hati tak perlu memilih? Baik, aku melakukannya. Aku membiarkan semua mengalir--seperti air sungai yang selalu tahu kemana harus bermuara. Tapi tetap saja, aku masih penasaran bagaimana hati bekerja.
Bagaimana aku tahu bahwa aku telah menetapkan pilihan? Aku sudah tanya baik-baik pada hati, tapi dia sendiri bergeming. Tak mengiyakan, tak pula berkata tidak.

Ketika aku mencoba menebak, dan mengajari hati untuk berkata "ya" pada satu pilihan, pihak lainnya justru berkata "tidak, belum saatnya". Siapa pihak lain itu? Dialah waktu. 
Seiring dengan usahaku untuk membiasakan hati, waktu rupanya punya skenarionya sendiri. Ia ingin aku berpetualang. Dengan melangkah, tanpa diperintah.

Dan aku jadi banyak melihat.

Dan aku jadi banyak mendengar.

Dan sedikit banyak aku memahami.

Aku tak perlu memilih sekarang. Hati, tak perlu memilih sekarang. Karena itu tadi: belum saatnya.
Biarkan ia berpetualang dulu. Hingga pada saat pertanda untuk menetapkan pilihan itu datang--dan tiba saatnya untuk memilih kamu, aku tak perlu khawatir. Khawatir akan merasa bosan.

Karena, petualangan sesungguhnya baru saja dimulai. Bersamamu, si orang yang mungkin akan bertanya, 
"Mengapa tidak dari dulu kau menetapkan pilihan, kepadaku? Sehingga kau, aku, tak perlu berpetualang terlebih dulu?"
Dan untuk pertanyaan yang satu itu, sepertinya aku sudah punya jawaban:


"Karena aku menginginkanmu, sebagai seorang yang tepat, di saat yang juga tepat."


Wednesday, January 25, 2012

(Bukan) Hujan dari Langit

 

Sebuah kertas berwarna creamy peach yang diukir dengan cantik, dan dibubuhkan pita merah sebagai pemanis; tergeletak di meja. Menjadi tumpukan teratas diantara lembaran laporan keuangan, surat dari kantor pajak, dan dokumen-dokumen lainnya yang memang menjadi 'santapan' sehari-hari yang harus kucicip sebagai seorang wanita karier.
Kertas tersebut berlabelkan namaku, dan alamat kantor. 
Penasaran, aku membukanya.
Dan aku terkesiap.


Selama beberapa menit aku masih mencerna apa yang baru saja kulihat. Dibalik kertas itu, jelas tertulis namamu--yang diukir dengan tinta emas. Dan namanya.
Ya, nama seseorang yang kuingat terakhir kali kau perkenalkan sebagai teman. Masih sebagai teman.
Bukan seseorang yang akhirnya akan bersanding denganmu di pelaminan. Lusa.


Rasanya baru kemarin aku, dan kau, berjalan berdua di Central Park. Rutinitas favoritku untuk menghabiskan Minggu pagi. Hari itu akan menjadi hari yang biasa , jika saja kau tidak secara tiba-tiba bertanya suatu hal--yang kukira gurauan:
"Will you marry me?"


Dan aku menolak. 


Sebenarnya bukan menolak. Aku ingin kau menunggu.
Dan disinilah letak kesalahanku:
aku membuatmu menunggu, dua tahun lamanya--dengan aku yang sibuk mengejar ambisi.



Penyesalan memang selalu datang terlambat. Klise. Itu memang sudah jadi aturan hidup. Kita memang dibuat untuk melakukan kesalahan--supaya tahu mana yang benar. Termasuk salah dalam memilih keputusan. Meski, yang mendapat kebenaran itu kamu. 
Kebenaranmu itu dia. Dia yang punya, apa yang tak kupunya. Membuatmu akhirnya menyadari--bahwa bukan aku yang selama ini kaucari.
Dan kebenaranku.. entah. Mungkin masih dalam perjalanan.


Hari ini langit tampak jernih, dan biru. Bukan kelabu yang biasa kutemui. Untuk pertama kali aku menggerutu: kenapa tidak hujan? Hanya hujan, satu-satunya--yang bisa menyampaikan pesan, dan melarutkan sakit ini pelan-pelan.
Birunya langit semakin mengintimidasi. Seakan berbisik: Berbesar hatilah. Tidak apa-apa. Kau akan temukan seseorang yang lain. Seseorang yang seperti dia.

Dengan segenap keberanian hati, aku meraih ponsel dan mulai mengetikkan kata demi kata.
Kata maaf atas absenku. Seribu alasan aku beri. Tak pernah kusangka--bohong rasanya bisa sepahit ini.
Satu kalimat penutup dalam pesanku: "...Aku harap yang terbaik untuk kalian berdua."

Message sent.

Langit biru sekarang mulai mengejekku;
karena seketika mataku memanas,
dan dadaku mulai sesak.








Ada hujan yang lain.










"Don't forget me, I beg.. I remember you said: sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead"














*Adapted from Adele's song: Someone Like You

Monday, January 23, 2012

Pintaku Satu: Pulang

 

Sekian banyak pilihan untuk melepas penat di kota ini--dan pilihanku jatuh pada La Cafeotheque. Kata orang, cafe ini salah satu tempat terbaik untuk memuaskan dahagamu akan espresso. Aku setuju. 

Aku mengambil tempat duduk di samping jendela kaca. Memperhatikan lalu-lalang pengguna jalan yang berjalan terburu-buru. Aku melirik jam. Hampir pukul sepuluh malam, batinku. Semua orang sibuk beraktivitas--tiada ubahnya dengan pagi hari. Bahkan kurasa 24 jam tak cukup bagi mereka. Bagiku juga.

Perlahan aku menuang sedikit gula ke dalam espresso yang sudah mulai dingin; dan kemudian menghabiskan larutan kafein itu dalam satu tegukan. Aku harus terjaga malam ini. Masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Namun semua niatan itu buyar--ketika sebuah pop up muncul di layar notebook yang sedang kutatap.
Email baru.
Darimu.
Darimu untuk yang kesekian kali.
Isinya masih sama: "Apa kabarmu? Apakah kau baik-baik saja disana?"

Aku tercekat.

Seketika bayangmu menari dalam benak. Dan perasaan tidak enak yang menghantuiku selama ini, muncul lagi. Membuatku mual.

"Kau akan menjadi seorang designer yang hebat. Aku yakin itu. Suatu saat buatkan gaun untukku ya!"

Satu yang aku benci: kau selalu sedemikian optimis terhadapku. Kau selalu percaya aku bisa menjadi "seseorang".
Dan kau lihat kini, aku memang menjadi seperti itu. Segalanya telah aku dapatkan--kekayaan, kedudukan, karier yang demikian cemerlang. Namun kau tahu? Setiap hari aku bersembunyi di balik topeng. Ini bukan hidup yang kuinginkan. Aku butuh tempat untuk 'pulang'.
Jika saja aku dapat berlari, saat ini juga, menuju tempatmu berada. Dan menetap disana. Tak sekalipun akan kembali.
Jika saja kesempatan itu ada. Jika.


Layar notebook kututup perlahan. Meninggalkan sebuah draft email yang tak (pernah) sempat kukirim. Karena sungguh, kau berhak mendapat lebih dari sekedar,
"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"













Aku menatap kembali jalanan kota Paris yang begitu ramai. Kini sudah hampir tengah malam.
Bahkan, dalam keramaian seperti ini pun--aku merasa sendirian.








"..cause I'm just too far from where you are, I just wanna go home.."












*Adapted from Michael Buble's song: Home

Sunday, January 22, 2012

Balada Labirin, Komidi Putar, Kamu.


Kau seperti komidi putar. Berputar disana, di serambi terdepan pikiran; ingatan. Entah sudah putaran yang ke berapa. Kepalaku sampai pusing, dan ingin muntah. Sesekali aku kapok, dan enggan untuk kembali bermain. Namun kerlip lampumu yang menyenangkan, dan melodimu yang membuai--membuatku nyaman. Seakan terus membisikkan: tidak apa-apa, sekali ini saja
Nyatanya tidak sekali. Berkali-kali. Karena aku selalu mau lagi, dan lagi.

Terkadang, kau bukan lagi komidi putar. Kau layaknya labirin--yang harus kulewati untuk menemukan jalan keluar, dari semua kegundahan. Dan, voila! Kau labirin ter-rumit yang pernah kulewati. Yah, atau mungkin memang karena kau satu-satunya labirin yang berani kulewati. Bisa dibilang aku nekat. 

Dan benar saja, dalam labirin itu banyak sekali 'kejutan'. Beberapa kali aku seperti melihat cahaya dari kejauhan--mengira itulah jalan keluar. Ternyata, yang kutemukan adalah jebakan; atau jalan buntu (kalau aku sedang beruntung). Tersesat dalam labirinmu membuatku putus asa. Sesekali aku terseok, tapi aku bertahan. Aku sudah sejauh ini, aku bilang.

Rasanya ingin aku terbang keatas--melihat pola labirinmu: melihat pikiranmu. Termasuk, melihat apakah ada orang lain yang menyusuri labirinmu,  yang (juga) berharap menemukan jalan keluar itu.



Dan sekarang aku lelah. Lelah menebakmu yang penuh teka-teki.
Kau komidi putar. Kau labirin. Selanjutnya apa?






Harus menghadapi dirimu yang seperti apa lagi untuk kemudian bertemu dirimu,
yang benar kamu?

Saturday, January 21, 2012

..And The Oak Tree As The Witness




Aku berdiri tepat di samping pohon oak yang  tegap menjulang. Sama sekali tak menampakkan perubahan meski telah berlalu satu dasawarsa lamanya. Sarang burung tak berpenghuni masih bertengger di salah satu dahan.
Aku ingat kau merengek minta dibuatkan "rumah" bagi burung gereja kecil yang kau temukan tak berdaya diantara dedaunan kering. Kita pun membuatnya bersama; sarang itu. Dari ranting pohon yang susah payah dikumpulkan; yang kemudian kau tambahkan selotip banyak-banyak di sekelilingnya. Takut terbawa angin, katamu.

Sudah memasuki musim dingin disini. Favoritmu, tapi bukan favoritku. Suhu minus sekian derajat adalah mimpi buruk. Aku merapatkan kembali mantelku, yang meski sudah tampak begitu tebal--namun tetap tak dapat mencegah gigiku bergemeletuk.

Seorang opsir menghampiriku,
"Anda sudah berdiri disini berjam-jam lamanya. Apa yang anda lakukan?"
Pertanyaan yang bagus.
"Saya sedang menunggu, Sir."

Dia takkan tahu--sama halnya dengan orang lain: alasanku berdiri disini. Lagipula, kalaupun mereka tahu; mereka takkan mengerti. Hanya sebaris janji yang terucap, yang bahkan aku sendiri pun tak yakin: Suatu hari, kita harus bertemu lagi, disini.
Dan disinilah aku.
Menanti dua bola mata berwarna cokelat muda itu mengerjap bersinar. Menanti tawa dan senandung-senandung konyol itu mengalun. Menanti energiku, kopi hangatku di pagi hari.

Aku memanggil namamu. Berbisik. Berharap, dimanapun kau berada, kau merasakan bisikan itu, merasakan kangen itu. Katamu (lagi), kita kan punya telepati. Kau tentu tahu harus kemana.

Imajinasiku mulai mempermainkan si empunya. Aku membayangkan kau berlari dengan wajah cemas. Berpindah dari satu sudut kota ke sudut lainnya--tampak mencari sesuatu. Hingga akhirnya kau menemukannya. Seorang lelaki berdiri terpejam di sebelah pohon oak. Bibirnya biru.


"Sampai kapan anda akan berdiri disini?" opsir itu kembali bertanya.
Aku tersenyum.







"I said there's someone I'm waiting for if it's a day, a month, a year.. Gotta stand my ground even if it rains or snows. If she changes her mind, this is the first place she will go"












*Adapted from The Script's song: The Man Who Can't be Moved

Wednesday, January 18, 2012

Surat Cinta untuk Dia yang Masih Rahasia


Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Hai, seseorang diluar sana,
Apa kabarmu? Dua kata itu mungkin menjadi sebuah frase klise yang hampir selalu diutarakan untuk memulai sebuah surat. Basa-basi yang sebenarnya ingin kuhindari--karena aku tahu, menanyakan kabarmu seperti menebak arah terbit matahari. Sudah pasti. Tentu saja--keadaanmu baik. Dia menjagamu selalu, bukan?

Lucu ya, tanpa tahu namamu--tanpa tahu kau siapa, dimana, aku sudah berani menulis sebuah surat untukmu. Surat cinta, malah. Aku pun geleng-geleng kepala. Bingung sendiri. Namun rasanya tak perlu penjelasan lebih. Karena seperti cintaku pada-Nya, semua itu hadir tanpa perlu ada pertemuan sebelumnya. Keyakinan, itu saja.

Berbicara tentangmu--selalu penuh dengan angan. Dalam beberapa hal bisa kukatakan, menggelikan. Kadang aku membayangkanmu seperti ini, seperti itu, seperti dia, seperti dia yang lainnya, seperti banyak kemungkinan. Sampai-sampai aku lelah menebak. Tapi aku tetap penasaran. Selalu penasaran. 

Mengapa aku begitu penasaran tentangmu? Jawabnya sederhana:
tidakkah kau penasaran tentang seseorang
yang dengan tulang rusuknya kau tercipta? 
yang dengan bersanding dengannya, membuat ibadahmu sempurna?

Dalam doa yang kupanjatkan, aku sering bertanya pada-Nya, tentangmu. Bertanya banyak hal. Siapa kamu? Seperti apa rupamu? Apakah aku mengenalmu? Apakah kita sudah pernah bertemu? Apakah kau dekat? Apakah kau jauh? Apakah saat ini kau juga tengah melakukan hal yang sama: bertanya pada-Nya, tentangku? 
Hingga akhirnya, saat semua pertanyaan bertubi-tubi itu telah kusampaikan, aku meminta pada-Nya. Suatu permintaan yang sederhana (juga): "Lindungi ia dimanapun berada.."

Aku tak tahu, kamu tak tahu, apakah kini, kita tengah berjalan di jalan yang berbeda arah, atau berjalan beriringan namun tak saling mengenali, atau bahkan, mungkin, salah satu diantara kita melihat yang lainnya: dalam hati berbisik doa yang sama setiap hari "Semoga dia jodohku.."

Aku berharap, kini kita tengah saling memantaskan. Pria yang baik hanya untuk perempuan yang baik, begitupun sebaliknya, bukan? Biarlah kamu tetap menjadi misteri--untuk saat ini. Mungkin memang ini cara yang terbaik bagi kita untuk saling menjaga.

Meski begitu, layaknya surat ini,
aku yakin
aku, dan kamu,
saling terhubung, melalui-Nya.








p.s: suatu saat nanti, akan kupastikan kita berdua, bersama-sama, membaca surat ini :)

Pelangi Imajinasi

Jika imajinasi diibaratkan dengan warna,
punyaku mungkin berupa pelangi yang besar melintang. 
Membentang. 
Disitu kau bebas bermain seluncuran,
dan temukan emas di ujung.
Kalau kau beruntung.

Monday, January 16, 2012

Cukup 33 kali


Mana yang kau pilih: mengunyah, atau menelan bulat-bulat?
Menelan lebih mudah, kurasa.
Tak perlu impresi; tak perlu sensasi
bahkan enzim sekalipun.

Mengunyah; membuatmu merasa
menerka
setiap substansi yang ada.
Kau harus pasang kuda-kuda,
ancang-ancang siapa tahu, ada rasa itu:
pahit.

Rasakan, setiap kunyahan.
Karena ia akan meresap,
mengalir,
menyebar.
Salah satunya bermuara pada rongga,
tempat semua rasa dirasa.

Mengisi kekosongan disana.

Beroksidasi menjadi energi.



Aku tengah mengunyah,
sembari dalam hati menghitung:

satu.. dua.. tiga puluh tiga.

Sunday, January 15, 2012

Surat Cinta untuk Caramel Macchiato

macchiato

Hai, modifikasi larutan kafein yang begitu cantik. Apa kabarmu? Lama kita tak saling mengecup. Ketika aku mengetikkan kata demi kata ini untukmu, seluruh asosiasi itu pun muncul: kedai kopi dengan jendela kaca yang lebar, bening; sofa empuk untuk berlama-lama bercengkerama; dan tentu saja kau, mendiami gelas keramik putih bersih. Sesekali ditemani cookies coklat kering.

Kau tahu? Alam berkonspirasi 'menyisihkan' tempat untuk benih kopi tumbuh, juga tebu; yang nanti bertransformasi menjadi karamel. Jadi, dapat dikatakan, kamu itu semacam harmoni alam, bukan masterpiece para barista. Menurutku, mereka hanya segelintir orang yang memahami sinkronisasi, hingga akhirnya kau pun 'terlahir'. Sekali lagi, sebagai salah satu harmoni alam. Hadiah dari-Nya yang sayang untuk dilewatkan.

Sejak pertama, kamu sudah membuatku jatuh cinta. Terutama karena tekstur rasamu yang unik; kopi, karamel, dan cream dalam bentuk foam; bercampur menjadi satu. Begitu menyenangkan untuk dinikmati. Menikmatimu, seakan melihat cerminan hidup: ada pahit, dan juga manis. 
Sayang, hidup tidak seperti kamu, yang bisa sesuka hati kutambahkan karamel, atau foam, atau bahkan bubuk kayu manis--untuk sedikit menghilangkan rasa pahit dari kopi.
Aku tak bisa 'meracik' hidup. Karena hanya Dia yang tahu formulanya. Aku hanya mengikuti, meneguk semua yang Dia berikan. Namun seringkali, aku lalai ketika mencicipinya. Saat manis yang kukecap, aku terlena. Saat pahit yang kukecap, aku kecewa. Aku bubuhkan banyak pemanis buatan agar pahit itu hilang. Manis, memang. Tapi ternyata membunuhku pelan-pelan.


Sungguh, ingin rasanya memesanmu lagi, dan lagi. Semoga kelak aku punya kedai kopi sendiri.

Friday, January 13, 2012

Benang Merah

Mari putuskan semua benang merah yang selama ini terjalin.
Seolah terjalin.
Biarkan ia kembali saling berpilin pada waktunya.
Siapkan guntingnya.
Sekarang.












Dan samar terdengar suara *klik*.
Semua benang itu putus.
Helai demi helai jatuh ke lantai.

Monday, January 9, 2012

Laugh!

image

"Girls, listen. You've connected. You're standing on the same turf. Laughing together is as close as you can get to a hug without touching."





(taken from article The Secret Behind Women's Laughter; PsychologyToday)

Saturday, January 7, 2012

Topeng Tercantik


Demikianlah, di setiap putaran jam yang tak mengenal kata "tunggu", aku memainkan peran. Senyum dan tawa, adalah topeng tercantik yang kupunya. Bukan sebagai senjata menghadapi dunia--namun untuk memerangi lara. Karena terkadang, ada saatnya senyum, dan tawa itu, menjadi satu-satunya kekuatan di bumi yang bisa melawan gravitasi--mencegahmu terjatuh. Juga, menjadi penegas, bahwa kau masih kuat berdiri--bahkan menopang orang lain.

Meski begitu, di ujung hari, dalam keheningan sepertiga malam yang seringkali sulit untuk dijemput, aku melepaskan topeng itu. Aku letih, kataku. Beri aku sedikit ruang, setidaknya. Dan hanya di hadapanMu, aku kembali menjadi aku. Dunia bisa kubohongi, namun tidak dengan Engkau. Jarum jam tetap berputar. Detak demi detaknya menghantam kesunyian..dan semua pun luruh.

Tuesday, January 3, 2012

Coffee and Tea


Semburat jingga itu tampak--seperti biasa, dengan sedikit awan tipis dan angin yang membelai lembut. Pemandangan ini, secara mengejutkan, menjadi satu bonus kecil dari sebuah flat sederhana yang menjadi simbol rutinitas yang berulang. Seperti siklus. Lagi-lagi, menjemukkan. 
Aku dan kau, seperti biasa (pula) menghabiskan sisa hari di balkon sempit yang sesekali dihinggapi merpati. Kita tak selalu berceloteh. Malah, seringkali tak bergeming. Diam dalam kesunyian. Hanya aku, kau, dan dua mug klasik yang kauberikan sebagai hadiah ulangtahun. Menikmati sepoi angin menggelitik hidung.
Lucu, sementara isi mug-ku berisikan cairan penuh kafein, mug-mu, berisi cairan yang kaya akan antioksidan. Kau seringkali menggeleng, menertawakan perbedaan kita. Namun selalu, yang menjadi pembelaanmu adalah, "Kau tahu? Jatuh cinta pada refleksi itu sama sekali tidak asyik". Kau kembali menyeruput isi mug-mu. Meresapinya. "Nah, bagaimana pendapatmu?" ujarmu lagi. Kali ini menatapku dalam.
Aku mengangkat bahu, dan tertawa. 
Jujur, aku tidak tahu. 

Satu hal yang kutahu adalah: hanya ini yang kubutuhkan untuk mendapatkan senja yang sempurna. Setiap hari.

"Oh somehow I knew, that your love was true. Oh, I feel it when I spent my perfect afternoon with you.."





*Adapted from Endah N Rhesa's song: Perfect Afternoon