Wednesday, February 15, 2012

(Hanya) Sebuah Jembatan


Jembatan memang seharusnya hanya menjadi tempat berpijak, 
dan melangkah--untuk tiba di tujuan.
Sebuah jembatan,
sekokoh apapun itu, semegah apapun itu, seterang apapun itu, 
tetap tak bisa kaudiami. Kau tempati.

Karena jembatan bukan rumah.
Bukan tempat untuk berdiam lama-lama. 
Bukan tempat untuk mengusir kesunyian.
Bukan tempat untuk merasa nyaman.
Bukan tempat untuk merasa 'pulang'.

Jembatan hanya jembatan.
Yang menghubungkan.
Tidak lebih.

Dua orang teman yang baik,
yang mengingatkan,
bahwa dia
hanya jembatan.
Hanya jembatan.
Yang suatu saat bisa runtuh.

Aku harus berlari melewatinya.

Namun aku mulai bertanya:
Mengapa ujung jembatan ini terasa jauh? Padahal aku sudah berlari. Cukup kencang.











Dan aku seakan mendengar bisikan:
"Ujung jembatan-kah yang terasa jauh, atau kau hanya berlari di tempat?"

Thursday, February 9, 2012

Then, Just Say It



KANIA
Sudah lebih dari dua puluh menit kita diam tanpa kata. Waktu yang terlalu lama untuk dua orang yang dalam kesehariannya tak pernah kehabisan topik berbincang. Sesekali melempar jokes, atau beradu argumen. Aku yang biasanya menang, tapi aku tahu kau bukan kalah. Mengalah, lebih tepatnya.

Berada dalam kecanggungan ini benar-benar aneh, dan aku tahu kau merasakan hal yang sama. Sejak tadi kau hanya berpura-pura berkonsentrasi pada canelloni yang tersaji cantik di piringmu. Aku hapal betul, itu gesturmu ketika merasa tidak nyaman.

Jadi, ada apa ini? Kamu kenapa? Aku kenapa?


IBRAN
Entah mengapa, perutku tiba-tiba sakit. Aku berani bertaruh, ini bukan gara-gara pasta-yang-entah-apa-namanya ini. 

Aku memberanikan diri untuk menatapmu, setelah dua puluh menit berlalu. Dan poof! Semua kata-kata yang sudah kususun dengan rapi, tiba-tiba menguap. Nyaliku seketika ciut.

Tak sanggup menghadapinya, aku alihkan perhatian, lagi. Ke arah pemain saxophone yang tengah berdiri di panggung kecil dengan pencahayaannya yang temaram, ke luar jendela yang menyuguhkan pemandangan fantastis Adelaide di kala senja. 

Kemanapun, asal bukan matamu.

Hal itu rupanya membuatmu gusar. Kau menopang dagu dengan kedua tangan, dan menatapku tajam. Seakan meminta penjelasan: ada apa ini?


KANIA
Bolehkah aku menebak? Apa yang ingin kausampaikan? Kurasa aku, dan kamu, sudah cukup dewasa untuk mengartikan semuanya. Tapi aku terlalu takut untuk berekspektasi.


IBRAN
Waktu terus bergulir, dan sisi pengecutku aku tendang jauh. Aku tak mau membuatmu menunggu.


KANIA
Aku tak bisa menunggu lagi. Biarkan aku yang mulai berbicara.

"I want to know what you feel when I am with you."

IBRAN
Aku tertegun. Ternyata ini saatnya.

"Yes my heart it can stop when I am with you."



"You never let me know, what I want to hear."


"You never show me the love that I want from you"


"I'm scared. Too scared. To believe what I want."


"I'm shy. Too shy. To tell the truth."









*Adapted from Sarasvati's song: Oh I Never Know

Sunday, February 5, 2012

Bahagiaku.. itu saja.



Definisi bahagia menjadi demikian sederhana buatku.

Bahagia itu
Sesuatu yang diam-diam selalu kucari, namun seringkali--tak sanggup kuhadapi. Sehingga dengan mudahnya aku berlalu, mengabaikan. Meski dalam hitungan detik, aku memberanikan diri menyapu pandangan. Mencari (lagi).

Sesuatu yang menjadi alasan mengapa oksigen tiba-tiba sama menyesakannya seperti karbon monoksida ketika dihirup. Memenuhi paru-paru. Melesak, dan menghimpit.

Sesuatu yang membuat perut mendadak jadi padang rumput dengan bunga-bunga cantik yang memiliki banyak stock nektar untuk menarik serangga. Membuat ribuan--atau bahkan jutaan kupu-kupu bersayap kecil datang, dan menggelitik. Menghadirkan sensasi yang menyenangkan, sekaligus membuat geli.

Sesuatu yang lebih hangat dari secangkir teh hijau. Membuat setiap tegukannya meresap, mendamaikan. Tak peduli guyuran hujan seharian membuat malam demikian dingin, dan rentan membuat flu.

Sesuatu yang lebih sejuk dari wangi tanah setelah hujan. Membuat aku bersyukur, bahwa di tengah segala kerumitan, grasa-grusu mengejar deadline, dan mood yang seringkali upside down--bahagia itu dengan mudahnya memberi guyuran embun.

Sesuatu yang membuatku jadi mudah berprasangka, bahwa alam, dunia, Dia, sedang berkonspirasi bersama. Menghadirkan banyak kejutan kecil yang bodohnya aku pikir bukan kebetulan belaka. Semuanya terencana. Minuman favorit yang sama, misalnya.                   



Sungguh, bahagiaku sederhana.








Bahagia itu kamu.
Hadirmu.
Itu saja.