Friday, April 20, 2012

Je T'aime, Montmartre



Dalam sekian perjalanan melintas cakrawala, ini kali pertama aku benar-benar jatuh cinta. Setiap sudut Montmartre adalah magis. Perpaduan estetis yang tak sekedar pengalaman inderawi. Ada sesuatu dalam setiap jengkal yang kujejaki disini, entah apa. Yang jelas, membuatku enggan beranjak.
Dari puncak Montmartre, kota Paris bagaikan lautan cahaya. Berpendar bergantian. Dengan Eiffel sebagai ibu, yang sekan merengkuh. Membuat hangat mereka yang memandang, menikmati.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Aku melangkahkan kaki menelusuri jalanan tak jauh dari motel tempat ku menginap.
Sebuah kedai kopi tua dengan interior klasik khas Eropa berabad-abad yang lalu, lengkap dengan pencahayaannya yang redup namun menenangkan, berhasil menghipnotisku untuk sedikit 'mengintip' ke dalam. Wangi kopi seketika meruak.

Kedai kopi itu tidak terlalu luas, mungkin sengaja di-desain untuk mereka yang ingin menikmati kopi dalam damai. Tanpa perlu banyak tawa disana sini.
Aku mengambil tempat duduk di dekat perapian. 
Sambil menunggu pesananku datang, aku menyempatkan diri menyapukan pandangan ke sekeliling.

Dan disana, seseorang tergopoh-gopoh memasuki kedai dengan sedikit menggerutu. Butiran-butiran putih menempel di rambut, dan bagian atas mantelnya. Rupanya diluar baru saja turun salju.
Ia kemudian menyapa wanita tua dibalik mesin kasir dengan bahasa Prancis yang sedikit terbata-bata, dan sejurus kemudian mengambil tempat tak jauh dari tempatku duduk. Mungkin jaraknya sekitar tiga meter.
Ia membuka sebuah catatan kecil dan mulai menggoreskan tinta dengan luwesnya. Sesekali ia memandang ke luar jendela, dan tersenyum, kemudian kembali menulis. 
Aku melihat matanya yang berbinar. Begitu pula mataku--yang menangkap pendar serupa bagai puncak Montmartre di malam hari.

Dua jam berlalu.
Kopi yang kupesan telah lama dingin. Aku hanya menikmati satu atau dua tegukan di awal. 
Selebihnya? Aku tenggelam dalam sesuatu yang menyedot seluruh perhatian, tanpa kecuali.

**
Hampir sepekan aku berada di Montmartre, dan setiap hari aku mengunjungi kedai kopi yang sama. Hanya untuk merasakan tenggelam lagi, dan lagi. Tidak ada setitikpun kejemuan di sana.
Sepertinya ia telah menjelma menjadi kopi. Adiktif.

Aku teringat, seseorang pernah berkata, “Keindahan itu tidak diarahkan, tetapi ditemukan.”


Aku menemukan keindahan itu.
Dalam dirimu.


Dan saat itu aku menyadari, aku tidak hanya jatuh cinta pada Montmartre.

Tuesday, April 10, 2012

Membiru, untuk Memberi


insidesocal


Aku memicing memandang horizon. Menyaksikan oranye melebur kehilangan saturasi,
mengantar jingga yang beriak berarak bersama awan yang setipis kapas. 
Kau pasti setuju, keindahan itu identik dengan detail. Membuatmu memperhatikan,
dan mendeskripsikan.
Kali ini tidak berkutat hanya pada "Seperti apa",
namun juga "Seperti siapa"
 
Dalam kata, aku, kau, juga punya detail.
Seringkali terlalu banyak asosiasi.   
Disini aku, mengira bahagiamu meruncing pada satu,
yang lama kelamaan menjadi titik. Satu tanda berhenti. Inginnya ku, tapi mungkin dia
"Haha" dan hati tertawa mendengar pernyataan barusan.
Sedikit bernada sinis, menertawakan empunya. Padahal dirinya sendiri membiru, lebam.
Sekarang aku yang gantian menertawakan hati,
"Tawamu palsu, padahal kau disitu babak belur"
"Sejak kapan kamu jadi batu? Keras dan pongah" ucapku lagi,
pada hati yang sekarang jadi bisu.
Tidak ada tawa lagi. Anehnya, sekarang bibirnya melengkungkan senyum.
Ah, ternyata dia belajar satu: Untuk memberi, ia rela membiru. 
Memberi. Meski hanya sebaris doa.
Memberi. Satu konsep yang membungkam ego untuk tetap duduk diam di sudut. Mengalah demi satu alasan:
Kaulah itu detail, definisi keindahan, yang tak jemu aku perhatikan.

Wednesday, April 4, 2012

Sejuta Alasan


Sebuah puisi.
Anonim;
namun cukup membuat merenung.



"Jika aku mencintaimu karena sifatmu yang ceria
Menjadi semangat yang menyala dalam dada
Kemudian aku bertanya,
Bila keceriaan itu kelam dirundum duka
Seberapa muram cintaku padamu nantinya? 
Jika aku mencintaimu karena kecantikanmu
Meredupkan pandangan di mataku
Kemudian aku bertanya,
Saat kecantikan itu memudar ditempuh usia
Seberapa pudarkah kelak cintaku kan ada? 
Jika aku mencintaimu karena keramahanmu
Memberi kehangatan dalam setiap sapaanmu
Kemudian aku bertanya,
Kiranya keramahan itu tertutup kabut prasangka
Seberapa mampu cintaku memendam praduga? 
Jika aku mencintaimu karena cerdasnya dirimu
Membuatku yakin pada setiap pekerjaanmu
Kemudian aku bertanya,
Ketika kecerdasan itu hilang meniti usia
Seberapa bijak cintaku untuk tetap bersama? 
Jika aku mencintaimu karena kemandirianmu
Menyematkan rasa banggaku padamu
Kemudian aku bertanya,
Di saat sifatmu yang manja menjengah
Seberapa besar cintaku padamu untuk dibanggakan? 
Jika aku mencintaimu karena tegarnya sikapmu
Menambatkan rasa kagumku pada utuhnya pertahananmu
Kemudian aku bertanya,
Andai ketegaran itu rapuh diterpa badai
Seberapa kuat cintaku yang tinggal? 
Jika aku mencintaimu karena pengertian yang kau berikan
Menumbuhkan ketenangan dengan kepercayaan yang kau tanam
Kemudian aku bertanya,
Kelak pengertian itu ditelan ego sesaat
Seberapa banyak mampu ku mengerti tanpa syarat? 
Jika aku mencintaimu karena luasnya kesabaranmu
Menambah dalamnya rasa cinta semakin ku mengenalmu
Kemudian aku bertanya,
Mungkin kesabaran itu mencapai batasnya,
Seberapa besarkah cintaku mampu memaafkan? 
Jika aku mencintaimu karena keteguhan iman yang kau punya
Bagai siradj yang benderang mengantarkan cahaya
Kemudian aku bertanya,
Kala iman itu jatuh merundum
Seberapa banyak sisa cinta yang terangkum? 
Jika aku mencintaimu karena engkau lah yang telah kupilih
Yang kan kupegang sepanjang hayat
Kemudian aku bertanya,
Saat hati ini tergoncang
Seberapa mantapkah cinta ini untuk tetap setia?
  
Biarpun sejuta alasan
Tetap tidak mungkin cukup
Membuat cintaku tetap bersamamu 
Melainkan jika aku mencintaimu karena Ilahi 
Karena Dia kan selalu ada
Untuk menjaga keutuhan cinta ini
Hingga kelak ku tak mampu lagi mencintaimu
Karena cintaku… berpulang padaNya
."


 (via: hasbunallah)