Sunday, November 4, 2012

Surat Cinta untuk Gerimis yang Jatuh


Pukul enam lewat lima belas menit. Waktu yang terhitung “cukup pagi” untuk melangkahkan kaki keluar di akhir pekan. Lengkap dengan pakaian rapi.

Pagi itu seharusnya aku gugup. Mengingat ini kali pertama aku berhadapan langsung dengan kalian dalam jumlah sebanyak itu. Biasanya hanya lima sampai enam.
Iya, seharusnya aku gugup. Namun entah mengapa langkah kakiku begitu ringan. Pun, tidak ada sedikitpun usaha untuk kembali merekonstruksi apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi kalian. Hasil dari brainstorming sana-sini selama beberapa hari ke belakang, aku yakini sudah masuk memori. Tinggal menunggu untuk di recall.

Sesampainya di lokasi, ternyata turun hujan. Ah, bahkan hujan ini tidak sedikitpun kumaknai sendu. Ia memberi sejuk yang justru menjadi energi lebih.

Pukul tujuh. Bel pun berbunyi, menandakan saatnya tiba. Aku menghela napas. Sejenak. Mengucap basmalah.

Aku sampai di depan kelas kalian. Aku mengintip melalui pintu. Iya, kalian memang sebanyak itu. Jantungku berdegup sedikit kencang, jadinya. Membuatku menghela napas lagi, untuk kedua kali. Seorang penguji memberi sinyal padaku untuk masuk kelas dan memulai pelajaran. Aku mengangguk, dan melangkah dengan yakin ke tengah kelas.

Aku menyapa kalian dan memperkenalkan diri di depan kelas. Kemudian aku meminta salah seorang dari kalian untuk memimpin doa di depan kelas.
Tidak ada yang berani. Hingga kemudian kamu--si jaket merah lengkap dengan topi, yang duduk di bangku paling depan. Berhimpitan bertiga.
Tanpa ragu kamu maju ke depan. Memberi aba-aba “siap”, “berdoa” dengan suara lantang.

Setelah selesai berdoa, kelas pun resmi dimulai. Aku menjelaskan peraturan kelas, lengkap dengan ‘iming-iming’ hadiah istimewa. Mendengar kata ‘hadiah’, kalian mulai menyimak penjelasanku secara cermat. Beberapa ada yang mengangguk-angguk kecil. Beberapa berbisik-bisik saat aku perlihatkan bintang-bintang dari kertas warna-warni.
Yang paling banyak mengumpulkan bintangnya, nanti dapet hadiah dari kakak”, kataku.

Hujan di luar sungguh membuatku khawatir kalian akan mengantuk. Aku pun meminta salah seorang dari kalian untuk maju ke depan. Untuk bernyanyi.
Tangan-tangan kecil itu teracung di udara. Dan aku memilih kamu—gadis kecil yang ada di barisan tengah. Namamu Nada. “Nada mau nyanyi lagu Kasih Ibu”, katamu. Seisi kelas bernyanyi bersama.
Nada yang pertama kali mendapat bintang. Semua bersorak dan bertepuk. Riuh. Dan senyumku mengembang melihat pemandangan itu.

Pagi itu aku harus mengajari kalian mengukur waktu. Aku perkenalkan detik, menit, jam, dan bentuk pengaplikasiannya. Berkali-kali, aku mengajukan pertanyaan.
Dan “Nada-Nada” lainnya pun bermunculan:
Ada Naya, Rangga, Atila, Doni, Rafli, dan yang lain yang sayangnya tak kuingat namanya, maju ke depan dan kembali ke tempat duduk dengan bintang di tangan.
Senangnya, kalian begitu aktif. Bahkan ketika kalian menjawab pertanyaan dengan salah, kalian tidak kapok untuk maju. Pun, meski kalian saling berebut untuk dipilih maju ke depan, tetap saja kalian bertepuk tangan untuk dia yang bisa menjawab dengan benar.
Ah, kalian begitu menggemaskan.

Pukul tujuh lebih tiga puluh lima. Kelas harus kuakhiri. Namun sebelumnya, aku mengumumkan siapa yang mendapat bintang terbanyak. Ternyata Naya. Gadis cantik yang maju ke depan untuk bernyanyi Indonesia Raya, dan menjawab bahwa 1 jam itu 60 menit. “Selamat Naya, kamu jadi bintang kelas untuk hari ini!
Oh. Dan masih ada hadiah untuk kalian. Iya kalian. Aku mengeluarkan bungkusan itu. Di dalamnya ada dua buah gasing kayu. Kelas kembali riuh. Ternyata kalian suka sekali bermain gasing. 
Gasing ini hadiah dari kakak untuk kalian semua karena sudah mendengarkan dan memperhatikan dengan baik selama kakak menjelaskan. Jadi, gasingnya disimpan di kelas, dan kalian bisa main bergantian kalau istirahat. Setuju?

Panitia sudah memberi sinyal waktu habis. Aku pun berpamitan kepada kalian. Dan berpesan untuk rajin belajar dan mendengarkan ibu guru.
Lambaian tangan itu pun resmi mengakhiri kelas.

***

Gerimis pagi itu
jatuh perlahan, dan membekas sepanjang jalan.

Begitupun aku, yang jatuh perlahan pada kalian:
siswa-siswi kelas dua SDN Pondok Cina 3, Depok.
Semoga tiga puluh lima menit pertemuan kita,
membekas sepanjang jalan juga ya :)













P.S:
Terimakasih sebesar-besarnya untuk
Panitia GUIM 2: Terimakasih telah memberi kesempatan untuk melakukan simulasi mengajar ini. Semoga saya diberi kesempatan untuk mengajar (lagi). Bukan di Depok, tapi di Pandeglang, Banten. Aaamiin.
Annisa Dwi Astuti: Terimakasih teteh untuk semua sharingnya, brainstormingnya, persiapannya (termasuk sudah bersedia menemani beli gasing hehe) dan tentu saja semangat untuk melakukan ini dengan hati. Hanya dengan hati.
Firdha Nova: Terimakasih nova (dan pebra) karena sudah membantu membuat bintang-bintang warna-warni yang sangat helpful!
Fira Rahmadina & Kak Kunthi: Terimakasih untuk jam dinding-nya. Sangat terbantu buat jadi alat peraga di kelas :D
Kak Eky, Kak Wahe, Kak Senza, Kak Posma, Kak Wulan, Kak Ashma: Terimakasih kakak-kakak, ibu-bapak guru yang super kece atas semua masukan dan advice nya selama ini. *sungkem*
….dan untuk semua yang memberi semangat selama ini.
Ah, Subhanallah.. Allah Maha Baik. Menempatkan aku di tengah orang-orang baik.
Terimakasih sekali lagi :)

No comments:

Post a Comment