Hujan
deras menyapu jalanan berdebu. Menyeruakkan bau khasnya yang akhir-akhir ini
kuketahui sebagai reaksi kimia pertemuan air hujan dan bakteri.
Dari
balik kaca angkutan umum yang kunaiki, aku bisa melihat anak-anak kecil berlarian
bertelanjang kaki. Sibuk menawarkan payung pada setiap orang yang lewat. Salah
seorang diantara mereka masih mengenakan seragam Sekolah Dasar.
Ah.
Kemudian aku teringat dengan sebuah buku yang kupinjam dari seorang teman. Aku
mengeluarkannya dari tas. Melanjutkan membaca. Buku bersampul hijau itu
berjudul: Indonesia Mengajar.
Buku
tersebut merupakan kumpulan kisah para Pengajar Muda yang mengabdikan dirinya
mengajar di pelosok negeri.
Setiap
selesai membaca satu kisah--selalu saja ada jeda, dan hembusan napas panjang. Entah
itu termenung, berkaca-kaca, atau senyum senyum sendiri.
Aku
juga punya kisah tentang menjadi seorang pengajar. Kali ini, aku tidak
berjibaku dengan minimnya teknologi, medan yang berat, atau anak-anak yang sama
sekali tidak mengenal baca tulis—seperti yang dihadapi oleh para Pengajar Muda.
Aku hanya seorang volunteer pengajar
pada sebuah program community development
Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa F.Psi UI bernama CoH
(Children of Heaven).
Setiap
Minggu pagi, pukul delapan, kami para pengajar—yang notabene merupakan mahasiswa/i
Fakultas Psikologi UI—berbondong-bondong menaiki angkutan umum menuju kawasan
Pancoran Mas, Depok. Dengan sedikit menelusuri jalan yang sedikit sempit dan
padat penduduk, kami tiba di sebuah tempat yang ‘disulap’ menjadi tempat kami
mengajar.
Setibanya
disana, tangan-tangan kecil itu sudah siap menyerbu untuk bergantian menyalami
tangan kami. Sejurus kemudian mereka sudah banyak berceloteh. Bertanya mana
kakak ini, mana kakak itu. Beberapa diantara mereka datang dengan wangi sabun
yang menyengat dan pipi cemong bertaburan bedak. Lucu.
Sebelum
kegiatan mengajar dimulai, kami bernyanyi bersama. Lagu favorit anak-anak ini (atau
sejauh ini, yang paling sering kudengar)adalah “kepala,
pundak, lutut, kaki”. Satu orang ditunjuk untuk memimpin teman-teman yang lain.
Sembari memperagakan.
Kegiatan
mengajar pun dimulai seiring lagu berakhir. Aku bergegas menuju satu spot
tempat mengajar murid-murid kelas satu Sekolah Dasar. Biasanya jumlah mereka
sekitar empat hingga enam orang. Atau lebih.
Di
depan whiteboard yang berdiri tegak, mereka duduk bersila. Sudah siap dengan
buku tulis, pensil, dan penghapus.
Sejujurnya,
aku tidak rutin datang mengajar. Terkadang sebulan tiga kali, dua kali, atau
bahkan satu kali. Tapi dari pertemuan kami yang dapat dihitung dengan jari, aku
tahu pelajaran favorit mereka adalah Matematika. Setiap aku, atau kakak
pengajar lainnya bertanya, “Mau belajar apa hari ini?”, serempak mereka berseru
“Matematika!”.
Murid-murid
kelas satu ini sangat beragam. Mulai dari yang aktif bertanya, malas-malasan, malu-malu,
hingga yang tak pernah berbicara sepatah kata pun. Daya tangkap tiap anak pun
berbeda. Persamaan mereka satu: suka sekali cokelat.
Ya,
terkadang kami sengaja membeli cokelat sebagai reward bagi anak yang mampu
mengerjakan soal dengan benar. Tujuannya, agar mereka lebih semangat dan
antusias. Hasilnya? Berhasil! Anak-anak itu berebutan mengacungkan tangan.
Melalui anak-anak ini, dan kisah demi kisah yang dituturkan para Pengajar Muda--aku menyadari satu hal: seorang pengajar bukan hanya mengajar. Ia juga belajar.
Murid-murid nya lah yang justru mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Tentang keikhlasan. Tentang ketulusan.
Aku masih ingin belajar, Ya Rabb.
Permudah jalanku.
Aaaamiiin.
Special thanks to:
*Muhammad Ramadhani Ilham, yang sudah meminjamkan bukunya. Terimakasih.
*Annisa Dwi Astuti, yang sudah menularkan euphoria Indonesia Mengajar.
Beberapa tahun lagi ada di profil Pengajar Muda ya, teh (plus ketemu si-visi-sama). Insya Allah :)