Friday, August 31, 2012

Tentang Mengajar, dan Belajar



Hujan deras menyapu jalanan berdebu. Menyeruakkan bau khasnya yang akhir-akhir ini kuketahui sebagai reaksi kimia pertemuan air hujan dan bakteri.
Dari balik kaca angkutan umum yang kunaiki, aku bisa melihat anak-anak kecil berlarian bertelanjang kaki. Sibuk menawarkan payung pada setiap orang yang lewat. Salah seorang diantara mereka masih mengenakan seragam Sekolah Dasar.

Ah. Kemudian aku teringat dengan sebuah buku yang kupinjam dari seorang teman. Aku mengeluarkannya dari tas. Melanjutkan membaca. Buku bersampul hijau itu berjudul: Indonesia Mengajar.
Buku tersebut merupakan kumpulan kisah para Pengajar Muda yang mengabdikan dirinya mengajar di pelosok negeri.
Setiap selesai membaca satu kisah--selalu saja ada jeda, dan hembusan napas panjang. Entah itu termenung, berkaca-kaca, atau senyum senyum sendiri.

Aku juga punya kisah tentang menjadi seorang pengajar. Kali ini, aku tidak berjibaku dengan minimnya teknologi, medan yang berat, atau anak-anak yang sama sekali tidak mengenal baca tulis—seperti yang dihadapi oleh para Pengajar Muda. Aku hanya seorang volunteer pengajar pada sebuah program community development Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa F.Psi UI bernama CoH (Children of Heaven).

Setiap Minggu pagi, pukul delapan, kami para pengajar—yang notabene merupakan mahasiswa/i Fakultas Psikologi UI—berbondong-bondong menaiki angkutan umum menuju kawasan Pancoran Mas, Depok. Dengan sedikit menelusuri jalan yang sedikit sempit dan padat penduduk, kami tiba di sebuah tempat yang ‘disulap’ menjadi tempat kami mengajar.

Setibanya disana, tangan-tangan kecil itu sudah siap menyerbu untuk bergantian menyalami tangan kami. Sejurus kemudian mereka sudah banyak berceloteh. Bertanya mana kakak ini, mana kakak itu. Beberapa diantara mereka datang dengan wangi sabun yang menyengat dan pipi cemong bertaburan bedak. Lucu.

Sebelum kegiatan mengajar dimulai, kami bernyanyi bersama. Lagu favorit anak-anak ini (atau sejauh ini, yang paling sering kudengar)adalah “kepala, pundak, lutut, kaki”. Satu orang ditunjuk untuk memimpin teman-teman yang lain. Sembari memperagakan.

Kegiatan mengajar pun dimulai seiring lagu berakhir. Aku bergegas menuju satu spot tempat mengajar murid-murid kelas satu Sekolah Dasar. Biasanya jumlah mereka sekitar empat hingga enam orang. Atau lebih.
Di depan whiteboard yang berdiri tegak, mereka duduk bersila. Sudah siap dengan buku tulis, pensil, dan penghapus.

Sejujurnya, aku tidak rutin datang mengajar. Terkadang sebulan tiga kali, dua kali, atau bahkan satu kali. Tapi dari pertemuan kami yang dapat dihitung dengan jari, aku tahu pelajaran favorit mereka adalah Matematika. Setiap aku, atau kakak pengajar lainnya bertanya, “Mau belajar apa hari ini?”, serempak mereka berseru “Matematika!”.

Murid-murid kelas satu ini sangat beragam. Mulai dari yang aktif bertanya, malas-malasan, malu-malu, hingga yang tak pernah berbicara sepatah kata pun. Daya tangkap tiap anak pun berbeda. Persamaan mereka satu: suka sekali cokelat.
Ya, terkadang kami sengaja membeli cokelat sebagai reward bagi anak yang mampu mengerjakan soal dengan benar. Tujuannya, agar mereka lebih semangat dan antusias. Hasilnya? Berhasil! Anak-anak itu berebutan mengacungkan tangan. 




Melalui anak-anak ini, dan kisah demi kisah yang dituturkan para Pengajar Muda--aku menyadari satu hal: seorang pengajar bukan hanya mengajar. Ia juga belajar. 
Murid-murid nya lah yang justru mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Tentang keikhlasan. Tentang ketulusan.


Aku masih ingin belajar, Ya Rabb.
Permudah jalanku.
Aaaamiiin.







Special thanks to:
*Muhammad Ramadhani Ilham, yang sudah meminjamkan bukunya. Terimakasih.
*Annisa Dwi Astuti, yang sudah menularkan euphoria Indonesia Mengajar. 
Beberapa tahun lagi ada di profil Pengajar Muda ya, teh (plus ketemu si-visi-sama). Insya Allah :)

No comments:

Post a Comment