Gadis kecil dengan tubuh menjulang
tinggi—melebihi kawan-kawan seusianya itu menghampiriku sambil tersipu malu.
“Bu,
kieu?” (Bu, gini? –red), ia menunjukkan buku tulisnya padaku.
Di buku tulis itu tertera namanya. Empat
huruf.
SELA.
Ditulis mirroring.
Aku tersenyum padanya. Poni rambutnya
yang mencuat jelas terlihat dari balik kerudung pink yang setiap hari ia pakai
ke sekolah.
Sela anak yang pendiam. Di kelas dia
selalu duduk di bangku paling belakang. Sendiri.
Satu hal yang cukup mengagetkanku juga
adalah sikap teman-temannya yang tak jarang mencemooh dia dan mengatakan Sela
“belet”. Bahasa Sunda untuk kata “bodoh”.
Nyess.
Mencelos hatiku seketika mendengar
kata-kata semacam itu keluar dari mulut anak-anakku.
Sela memang tergolong slow learner di kelas. Ia tertinggal
dari teman-temannya terutama dalam hal mengenal huruf. Ia baru mengenal sekitar
empat hingga lima huruf.
Satu lagi. Seperti yang telah kukatakan
di awal: Sela menulis dengan mirroring—atau
terbalik.
Teman-temannya mungkin tidak mengerti,
sehingga akhirnya memberikan label “bodoh” tadi.
Semula kukira Sela mengalami
disleksia/disgrafia. Sebuah istilah untuk menggambarkan gangguan dalam hal membaca ataupun menulis. Namun, saat
kuperhatikan kembali gejala-gejala yang ada, aku simpulkan bahwa Sela tidak
mengalami gangguan. Ia sepertinya menerima stimulus yang kurang tepat sejak ia
kecil, sehingga belajar menulis dan membaca tidak se-optimal anak-anak lainnya.
Dibalik semua kendala yang ada, Sela
adalah salah satu murid favoritku. Dia memang bukan termasuk anak yang cerdas
di kelas, tapi dia mau belajar. Dia mau belajar, dan tidak takut salah.
Meski berkali-kali aku harus mengulangi
instruksi untuk menulis huruf “S” yang benar.
Meski berkali-kali aku harus mengulangi
instruksi untuk menulis angka “4” yang benar.
Sela selalu ingin maju ke depan.
Dan saat pekerjaannya belum benar, dia
akan kembali ke bangkunya.
Berkutat dengan tugas.
Dan kembali padaku.
Begitu selalu.
Aku penasaran.
Dengan modal semangat, aku, ditemani
panitia&pengajar lain, mengunjungi rumah Sela di Bulakan. Yang ternyata
begitu sulit dilalui.
Tapi tidak apa-apa, kalo tidak sekarang,
kapan lagi?
Sesampainya di rumah Sela, aku mengobrol
dengan ibunya mengenai keadaan Sela di rumah dan di sekolah.
Hmm.. pantas saja, di rumah tidak ada
yang mengajari Sela membaca dan menulis.
Aku melirik pintu kayu tepat di
sebelahku. Disana tertulis abjad-abjad dari A-Z. Ditorehkan kasar dengan
pulpen. Dan, seperti biasanya.. abjad tersebut tertulis dengan mirroring—atau
terbalik. Aku melempar senyum ke arah Sela yang sedang bermain di luar rumah.
Ia anak yang sangat
bersemangat belajar. Segala keterbatasan ini sama sekali tidak boleh
menyurutkan semangatnya.
Tidak sekali pun.
Waktu kita memang tidak banyak, sayang.
Tapi satu hal yang bisa ibu berikan untuk Sela: seribu semangat setiap harinya.
Boleh? :)