Friday, May 10, 2013

#14: Seribu Semangat untuk Sela

Gadis kecil dengan tubuh menjulang tinggi—melebihi kawan-kawan seusianya itu menghampiriku sambil tersipu malu.
Bu, kieu?” (Bu, gini? –red), ia menunjukkan buku tulisnya padaku.
Di buku tulis itu tertera namanya. Empat huruf.
SELA.
Ditulis mirroring.
Aku tersenyum padanya. Poni rambutnya yang mencuat jelas terlihat dari balik kerudung pink yang setiap hari ia pakai ke sekolah.

Sela anak yang pendiam. Di kelas dia selalu duduk di bangku paling belakang. Sendiri.
Satu hal yang cukup mengagetkanku juga adalah sikap teman-temannya yang tak jarang mencemooh dia dan mengatakan Sela “belet”. Bahasa Sunda untuk kata “bodoh”.
Nyess.
Mencelos hatiku seketika mendengar kata-kata semacam itu keluar dari mulut anak-anakku.

Sela memang tergolong slow learner di kelas. Ia tertinggal dari teman-temannya terutama dalam hal mengenal huruf. Ia baru mengenal sekitar empat hingga lima huruf.
Satu lagi. Seperti yang telah kukatakan di awal: Sela menulis dengan mirroring—atau terbalik.
Teman-temannya mungkin tidak mengerti, sehingga akhirnya memberikan label “bodoh” tadi.

Semula kukira Sela mengalami disleksia/disgrafia. Sebuah istilah untuk menggambarkan gangguan dalam  hal membaca ataupun menulis. Namun, saat kuperhatikan kembali gejala-gejala yang ada, aku simpulkan bahwa Sela tidak mengalami gangguan. Ia sepertinya menerima stimulus yang kurang tepat sejak ia kecil, sehingga belajar menulis dan membaca tidak se-optimal anak-anak lainnya.

Dibalik semua kendala yang ada, Sela adalah salah satu murid favoritku. Dia memang bukan termasuk anak yang cerdas di kelas, tapi dia mau belajar. Dia mau belajar, dan tidak takut salah.
Meski berkali-kali aku harus mengulangi instruksi untuk menulis huruf “S” yang benar.
Meski berkali-kali aku harus mengulangi instruksi untuk menulis angka “4” yang benar.
Sela selalu ingin maju ke depan.
Dan saat pekerjaannya belum benar, dia akan kembali ke bangkunya.
Berkutat dengan tugas.
Dan kembali padaku.
Begitu selalu.

Aku penasaran.
Dengan modal semangat, aku, ditemani panitia&pengajar lain, mengunjungi rumah Sela di Bulakan. Yang ternyata begitu sulit dilalui.
Tapi tidak apa-apa, kalo tidak sekarang, kapan lagi?

Sesampainya di rumah Sela, aku mengobrol dengan ibunya mengenai keadaan Sela di rumah dan di sekolah.
Hmm.. pantas saja, di rumah tidak ada yang mengajari Sela membaca dan menulis.

Aku melirik pintu kayu tepat di sebelahku. Disana tertulis abjad-abjad dari A-Z. Ditorehkan kasar dengan pulpen. Dan, seperti biasanya.. abjad tersebut tertulis dengan mirroring—atau terbalik. Aku melempar senyum ke arah Sela yang sedang bermain di luar rumah.

Ia anak yang sangat bersemangat belajar. Segala keterbatasan ini sama sekali tidak boleh menyurutkan semangatnya.

Tidak sekali pun.



Waktu kita memang tidak banyak, sayang. Tapi satu hal yang bisa ibu berikan untuk Sela: seribu semangat setiap harinya. Boleh? :)

No comments:

Post a Comment