Thursday, December 20, 2012

Peron Tujuh


wait




17.00
dalam gerbong kereta yang kursinya sedikit berdecit jika kau beringsut


Pernah merasa ingin pergi jauh? Jauh sekali. Meninggalkan hiruk pikuk sudut kota yang diselimuti mendung kecemasan--menggantinya dengan berjuta kubik oksigen yang leluasa kau hirup bersama hamparan rumput menghijau seluas pandang.

Dan disinilah aku.
Duduk di kursi terdekat dengan jendela,
sebuah reward tersendiri.
Satu pembenaran bahwa aku selalu menikmati saturasi oranye itu menghampar 
bagai sapuan kuas yang sengaja dilukis di cakrawala.

Lokomotif ini berjalan
dengan bunyinya yang khas.

15.30
peron tujuh, diantara hiruk pikuk 

Lama aku berdiri, di hadapanmu
mungkin sekitar tiga hingga empat puluh menit
(memakai sepatu duabelas inci adalah petaka).
Masih, tidak ada kata "aku mohon" yang dengan bodoh kuharap terucap. Hanya sorot matamu yang menyiratkan--entah keengganan, atau kejengahan,
atau.. enggan melepaskan? Ah entah. Seperti biasa kan? Kamu itu penuh selubung. Seperti kelambu. Dan aku nyamuknya.

Peluit berbunyi.
Dan sebelum resmi pergi, aku kembali berkata: tell me what you want from me

...
tetap sunyi.

Aku pun berkesimpulan: cukup.

Tak akan kubiarkan pena ini menggores kata demi kata dalam diari perjalanan--dengan lekukan tajam. Menyiratkan entah geram, atau ketidakberdayaan. Dan, tanpa kata-kata: akankah kamu kehilangan?

Aku melangkahkan kaki menuju loket,
dan sungguh inilah yang kukatakan pada wanita dibalik kaca:

"Can I get a window seat? Don't want nobody next to me. I just wanna ticket out of town to look around.."

dan angin serta merta berbisik satu ungkap tak terkata:

"... I just want a chance to cry, and a long bye.."


18.00
masih dalam gerbong kereta, lampu-lampu mulai menyala

Pelupuk mataku memberat.
Karena ternyata sayup dalam kepalaku, mendengar
kamu,
dan satu pinta itu:
"kembalilah.."




*Adapted from Erykah Badu's song: Window Seat
*Pic from this, and this

No comments:

Post a Comment