Pukul
enam lewat lima belas menit. Waktu yang terhitung “cukup pagi” untuk
melangkahkan kaki keluar di akhir pekan. Lengkap dengan pakaian rapi.
Pagi itu
seharusnya aku gugup. Mengingat ini kali pertama aku berhadapan langsung dengan
kalian dalam jumlah sebanyak itu. Biasanya hanya lima sampai enam.
Iya,
seharusnya aku gugup. Namun entah mengapa langkah kakiku begitu ringan. Pun,
tidak ada sedikitpun usaha untuk kembali merekonstruksi apa yang harus aku
lakukan untuk menghadapi kalian. Hasil dari brainstorming
sana-sini selama beberapa hari ke belakang, aku yakini sudah masuk memori. Tinggal
menunggu untuk di recall.
Sesampainya
di lokasi, ternyata turun hujan. Ah, bahkan hujan ini tidak sedikitpun kumaknai
sendu. Ia memberi sejuk yang justru menjadi energi lebih.
Pukul
tujuh. Bel pun berbunyi, menandakan saatnya tiba. Aku menghela napas. Sejenak.
Mengucap basmalah.
Aku
sampai di depan kelas kalian. Aku mengintip melalui pintu. Iya, kalian memang
sebanyak itu. Jantungku berdegup sedikit kencang, jadinya. Membuatku menghela
napas lagi, untuk kedua kali. Seorang penguji memberi sinyal padaku untuk masuk
kelas dan memulai pelajaran. Aku mengangguk, dan melangkah dengan yakin ke
tengah kelas.
Aku
menyapa kalian dan memperkenalkan diri di depan kelas. Kemudian aku meminta
salah seorang dari kalian untuk memimpin doa di depan kelas.
Tidak ada
yang berani. Hingga kemudian kamu--si jaket merah lengkap dengan topi, yang
duduk di bangku paling depan. Berhimpitan bertiga.
Tanpa
ragu kamu maju ke depan. Memberi aba-aba “siap”, “berdoa” dengan suara lantang.
Setelah
selesai berdoa, kelas pun resmi dimulai. Aku menjelaskan peraturan kelas,
lengkap dengan ‘iming-iming’ hadiah istimewa. Mendengar kata ‘hadiah’, kalian
mulai menyimak penjelasanku secara cermat. Beberapa ada yang mengangguk-angguk
kecil. Beberapa berbisik-bisik saat aku perlihatkan bintang-bintang dari kertas
warna-warni.
“Yang
paling banyak mengumpulkan bintangnya, nanti dapet hadiah dari kakak”, kataku.
Hujan di
luar sungguh membuatku khawatir kalian akan mengantuk. Aku pun meminta salah
seorang dari kalian untuk maju ke depan. Untuk bernyanyi.
Tangan-tangan
kecil itu teracung di udara. Dan aku memilih kamu—gadis kecil yang ada di
barisan tengah. Namamu Nada. “Nada mau nyanyi lagu Kasih Ibu”, katamu. Seisi
kelas bernyanyi bersama.
Nada yang
pertama kali mendapat bintang. Semua bersorak dan bertepuk. Riuh. Dan senyumku
mengembang melihat pemandangan itu.
Pagi itu
aku harus mengajari kalian mengukur waktu. Aku perkenalkan detik, menit, jam,
dan bentuk pengaplikasiannya. Berkali-kali, aku mengajukan pertanyaan.
Dan
“Nada-Nada” lainnya pun bermunculan:
Ada Naya,
Rangga, Atila, Doni, Rafli, dan yang lain yang sayangnya tak kuingat namanya,
maju ke depan dan kembali ke tempat duduk dengan bintang di tangan.
Senangnya,
kalian begitu aktif. Bahkan ketika kalian menjawab pertanyaan dengan salah,
kalian tidak kapok untuk maju. Pun, meski kalian saling berebut untuk dipilih
maju ke depan, tetap saja kalian bertepuk tangan untuk dia yang bisa menjawab
dengan benar.
Ah,
kalian begitu menggemaskan.
Pukul
tujuh lebih tiga puluh lima. Kelas harus kuakhiri. Namun sebelumnya, aku
mengumumkan siapa yang mendapat bintang terbanyak. Ternyata Naya. Gadis cantik
yang maju ke depan untuk bernyanyi Indonesia Raya, dan menjawab bahwa 1 jam itu
60 menit. “Selamat Naya, kamu jadi bintang kelas untuk hari ini!”
Oh. Dan
masih ada hadiah untuk kalian. Iya kalian. Aku mengeluarkan bungkusan itu. Di
dalamnya ada dua buah gasing kayu. Kelas kembali riuh. Ternyata kalian suka
sekali bermain gasing.
“Gasing
ini hadiah dari kakak untuk kalian semua karena sudah mendengarkan dan memperhatikan dengan baik selama kakak menjelaskan. Jadi, gasingnya disimpan di kelas,
dan kalian bisa main bergantian kalau istirahat. Setuju?”
Panitia
sudah memberi sinyal waktu habis. Aku pun berpamitan kepada kalian. Dan
berpesan untuk rajin belajar dan mendengarkan ibu guru.
Lambaian
tangan itu pun resmi mengakhiri kelas.
***
Gerimis
pagi itu
jatuh
perlahan, dan membekas sepanjang jalan.
Begitupun
aku, yang jatuh perlahan pada kalian:
siswa-siswi
kelas dua SDN Pondok Cina 3, Depok.
Semoga
tiga puluh lima menit pertemuan kita,
membekas
sepanjang jalan juga ya :)
P.S:
Terimakasih
sebesar-besarnya untuk
Panitia GUIM 2: Terimakasih telah memberi kesempatan untuk melakukan simulasi mengajar ini. Semoga saya diberi kesempatan untuk mengajar (lagi). Bukan di Depok, tapi di Pandeglang, Banten. Aaamiin.
Annisa
Dwi Astuti: Terimakasih teteh untuk semua sharingnya, brainstormingnya, persiapannya
(termasuk sudah bersedia menemani beli gasing hehe) dan tentu saja semangat
untuk melakukan ini dengan hati. Hanya dengan hati.
Firdha
Nova: Terimakasih nova (dan pebra) karena sudah membantu membuat
bintang-bintang warna-warni yang sangat helpful!
Fira
Rahmadina & Kak Kunthi: Terimakasih untuk jam dinding-nya. Sangat terbantu
buat jadi alat peraga di kelas :D
Kak Eky,
Kak Wahe, Kak Senza, Kak Posma, Kak Wulan, Kak Ashma: Terimakasih kakak-kakak, ibu-bapak
guru yang super kece atas semua masukan dan advice nya selama ini. *sungkem*
….dan
untuk semua yang memberi semangat selama ini.
Ah, Subhanallah..
Allah Maha Baik. Menempatkan aku di tengah orang-orang baik.
Terimakasih
sekali lagi :)